Minggu, 24 April 2016

TUHAN DALAM DIRI SESEORANG



Judul Film                  : Life Of PI
Tahun Produksi          : 2012
Penulis Skenario        : David Magee
Sutradara                    : Ang Lee
Durasi                         : 127 menit (2 jam 7 menit)
Genre                          : Drama keluarga

"Percaya Tuhan bukan seperti teori dalam hukum yang harus dipenuhi, melainkan suatu keyakinan yang ada pada diri seseorang" 

Kisah hidup manusia bukan seperti tong kosong yang sekadar nyaring bunyinya, tetapi ada cerita dan pengalaman yang perlu kita ketahui di dalamnya. Life Of Pi adalah film India yang mengisahkan seorang laki-laki yang memiliki kehidupan filosofis. Film ini diangkat dari novel laris karangan Yann Martel, Life Of Pi. Kisahnya sederhana, yakni petualangan seorang Pi, yang setengah durasi filmnya terjebak di Samudera Pasifik bersama seekor harimau.
Film yang disutradarai oleh Ang Lee ini beralur mundur. Diawali pertemuan Pi dengan seorang novelis yang datang ke rumahnya. Novelis ini adalah rekan paman Pi, Francis atau biasa dipanggil Mamaji. Paman Pi bercerita bahwa ia mempunyai pengalaman hidup yang akan membuatnya percaya keberadaan Tuhan. “Kau akan menentukan sendiri apa yang kau percayai?” komentar Pi ketika mengetahui hal itu. Mereka pun memulai perbincangannya yang diawali dengan masa kecil Pi di kota Pondicherry.
Pi lahir dan dibesarkan di India, tepatnya di kawasan Pondicherry, suatu wilayah pendudukan Perancis di India. Nama Pi diambil dari salah satu kolam renang yang dikunjungi oleh pamannya. Sebuah kolam renang umum di Perancis yang airnya begitu jernih yaituPiscine Molitor. Sejak itulah ayah Pi terinspirasi dan memberinya nama Piscine Molitor Patel.
Di masa kanak-kanak, pertama kali ia diperkenalkan dengan Tuhan dalam Hindu. Ia menganggap dewa-dewa adalah pahlawan baginya. Waktu berlalu dan usianya pun beranjak remaja. Pi berjumpa dengan Kristus saat berumur 12 tahun di gereja daerah Pegunungan Monar. Dia bertemu dengan seorang pendeta dan memulai perbincangan tentang Tuhan Kristus. Dari sinilah Pi mulai berkeyakinan tentang Kristus. Ia berterima kasih kepada Dewa Wisnu karena telah memperkenalkannya pada Kristus. Ia mempunyai keyakinan terhadap Hindu dan menemukan kasih Tuhan melalui Kristus.
Cerita Tuhan dengannya belum selesai sampai di sini. Pada suatu hari, Pi berjalan dan mendengar suara adzan di masjid. Ia menyaksikan orang sholat berjamaah. Ia mulai bingung dan berpikir. Menurutnya, Tuhan bekerja sangat misterius. Tuhan kembali memperkenalkan diri-Nya dengan sebutan Allah melalui Islam. Pi kembali tergoncang imannya. Ia pun menganut Islam dan melakukan sholat. Menurut Pi, alunan dzikir dalam gerakan sholat membawanya dekat dengan Tuhan. Pada saat melakukan sholat, tanah yang ia sentuh menjadi tanah suci dan ia menemukan kedamaian serta persaudaraan.
Pi menganut tiga agama dalam waktu yang bersamaan. Melihat hal itu, ayahnya mencoba memberinya nasihat bahwa mempelajari tiga agama sekaligus sama saja tidak mempercayai salah satu di antaranya. Pi pun menjawab, ”Aku ingin dibaptis.”
Ketika menginjak usia16 tahun  (dan mengalami cinta pertama), ayahnya memutuskan menutup kebun binatang tersebut. Ayah Pi menutup kebun binatang karena hampir mengalami kebangkrutan. Mereka memutuskan pindah ke Kanada dengan membawa hewan-hewannya. Ayahnya memesan tiket untuk satu keluarga dan hewan-hewan mereka (untuk dijual di Amerika Utara) di kapal barang Jepang bernama Tsimtsum.
Dalam perjalanan, kapal yang mereka tumpangi terkena badai. Pi tidak berhasil menyelamatkan keluarganya. Ia hanya menemukan hewan-hewan peliharaan ayahnya terkatung-katung di dalam kapal yang telah dipenuhi air. Tanpa daya ia menyaksikan kapal tersebut tenggelam, menewaskan keluarganya dan para awak kapal. Seekor zebra, harimau bengal (Richard Parker), hyena, dan orang utan berhasil ikut Pi dalam sekoci.
Terombang-ambing dalam sebuah sekoci bersama empat hewan liar di tengah Samudra Pasifik, membuat Pi berada dalam kondisi sangat sulit. Hewan-hewan itu tidak bisa diatur oleh Pi. Zebra dan orang utan menjadi santapan hyena ganas. Setelah itu hyena pun menjadi santapan harimau bernama Richard Parker.
Selama berbulan-bulan Pi bersama Richard Parker di tengah Samudera Pasifik. Pi menemukan cadangan makanan dan air darurat di dalam sekoci. Ia membangun rakit terapung kecil dari sisa kayu dalam sekoci untuk menjauhkan dirinya dari Richard Parker. Pi berusaha memenuhi kebutuhan Richard Parker dengan memberinya makanan. Ia mencarikannya ikan dari lautan, dan juga air untuk minum.
Di sinilah keyakinannya tentang Tuhan terjawab. Tak hanya sekali badai menghantam, pertolongan Tuhan selalu hadir walau tak terlihat secara kasat mata. Harapan mereka kembali tumbuh, saat sekoci yang mereka tumpangi terdampar di sebuah pulau yang dihuni oleh kawananmeerkat. Pulau tersebut ternyata bukanlah sebuah pulau bersahabat. Terdapat sejenis tumbuhan alga karnivora yang mampu memakan mahluk hidup. Mereka memutuskan untuk kembali ke sekoci dan melanjutkan perjalanan.
Dalam perjalanan hidupnya, Tuhan selalu ada setiap Pi membutuhkan pertolongan. Dari mulai kehilangan keluarganya, terkatung-katung di tengah samudera, dan terdampar di sebuah pulau yang tak bersahabat. Akhirnya, Pi dan Richard Parker tiba di sebuah pantai di daerah Meksiko dengan selamat. Richard Parker pun meninggalkannya. Pi tetap harus melanjutkan hidupnya dan telah menemukan apa yang harus ia yakini.
Kepercayaannya akan Tuhan bukan karena doktrin orang-orang, melainkan wujud dari Tuhan yang ada pada dirinya. Baginya semua agama itu baik karena pada dasarnya berasal dari Dzat yang sama. Hanya saja caranya berbeda.
Film yang membawa pulang piala Oscar 2013 ini mempunyai alur cerita yang luar biasa. Semuanya berisi pesan moral yang menyadarkan kita bahwa hidup dalam kesusahan tidak menyulutkan keyakinan pada Sang Pencipta. Tuhan selalu ada, baik di saat senang maupun susah. Sesungguhnya Tuhan memberi cobaan pada mahluk-Nya sesuai batas kemampuan

*Diterbitkan di http://www.balairungpress.com/2013/03/tuhan-dalam-diri-seseorang/

Senin, 17 Juni 2013

PSIKOLOGI AL-KINDI


Dasar Pemikiran

Islam, pada zaman abad pertenganhan sudah mulai meramaikan dunia filsafat. Banyak bermunculan para filosof muslim saat itu. Salah satunya adalah Al-Kindi. Beliau hidup pada masa pemerintahan Daulah Bani ‘Abbasiyah. Suatu periode kehidupan politik dan intelektual yang paling cemerlang. Dalam teori filsafatnya, secara umum beliau memiliki keahlian dalam sejumlah bahasa termasuk penerjemah bahasa Yunani, ahli kedokteran, astronomi, matematika, filsafat dan pengembangan psikologi. Dalam hal ini kita akan membahas teori psikologi Al-Kindi. Menurut sejarah, teori psikologi al-kindi turut serta dalam perkembangan ilmu psikologi dunia barat. Seperti apa dan Bagaimana pemikirannya tentang psikologi oleh Al-Kindi?
Riwayat Al-Kindi
Al Kindi Lahir 185 Hijriah/801 Masehi. Beliau memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi. Lahir di Kufah, Irak. Al-Kindi hidup pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah. Beliau anak seorang gubernur di Kufah pada masa kekhilafahan Abbasiyah, sejak dari khalifah al-Amin (809-813), al-Ma`mun (813-833), al-Mu’tashim (833-842), al-Watsiq (842-847), dan al-Mutawakkil (847-861)[1]. Dalam kurun waktu pemerintahan Abbasiyah, beliau mulai berkembang. Secara umum beliau memiliki keahlian dalam sejumlah bahasa termasuk penerjemah bahasa Yunani, ahli kedokteran, astronomi, matematika, filsafat dan pengembangan psikologi.
Al-Kindi mempunyai watak yang mulia. Berprilaku laksana seorang yang bermartabat, berpengabdian, dan tulus ikhlas. Beliau dipandang sebagai seorang filsof bangsa Arab yang pertama. Hal ini karena ia filsuf Muslim pertama yang sangat cinta kearifan lokal. Beliau juga dikenal karena metode, sikap dan penjajagannya pada bidang-bidang penyelidikan yang baru. Beliau menjembatani kesenjangan antara pendekatan-pendekatan intelektual setengah hati dengan disiplin filsafat yang keras dari rekan-rekan Muslim sezamannya[2].
Cara yang paling tepat untuk memulai tinjauan kita tentang psikologi Al-Kindi adalah dengan terlebih dahulu menjajagai konsepnya mengenai filsafat. Sebagai perintis filsafat murni dalam dunia Muslim, Al-Kindi memberi daftar definisi-definisi umum filsafat sebelum zamannya dan juga selama abad pertengahan. Dalam karangannya tentang Definisi Benda-benda dan Uraiannya, beliau mencatat enam buah definisi yang mewakili cendekiawan-cendekiawan zamannya.
Dari keenam rangkaian definisi tersebut, Al-Kindi lebih menekankan bahwa ide filsafat sebagai suatau praktek kebajikan. Menurutnya, filosof ialah yang hidup dengan benar, mencari kebenaran dan menepati kebenaran tersebut. Filsafat yang sempurna tidak hanya sekedar pengetahua tentang kebenaran. Disamping itu,filsafat adalah perwujudan kebenaran dalam perbuatan. Kearifan yang sesungguhnya adalah memadukan pencarian kearifan itu dengan pelaksanaan[3]. Teori ini berkaitan dengan psikologi Al-Kindi. Dalam salah satu tulisannya Tentang Akal Budi  jika dikaitkan dengan pernyataan diatas sangat sinkronisasi.
Teori Psikolgi Al-Kindi
Al-Kindi, pandangannya tentang psikologi lebih mengarah pada Plato daripada Aristoteles. Tulisannya cenderung mengikuti aliran neo-platonisme dan platonisme. Hal ini dibuktikan oleh Al-Kindi melalui definisi, fungsi-fungsi dan kapasitas-kapasitas jiwa yang dipahaminya. Walaupun menyimpang jauh dari ajaran psikologi Aristoteles, filosof dari Arabia ini mencoba merujukkan pandangan Plato dan Aristoteles. Hal itu terdapat dalam tulisan singkatnya yang berjudul, Suatu Risalah Tentang Jiwa.  Tetapi nada dari tulisannya yang bersifat jiwa bersifat Platonis[4].
Menurutnya, jiwa adalah tunggal dan tidak tersusun. “Jiwa dalah tunggal dan bersifat sempurna dan mulia”. Substansinya adalah ruh yang berasal dari substansi Tuhan. AL-Kindi juga mengatakan, bahwa hubungan antara jiwa dan badan bercorak accidental (al-‘aradh). Al-Kindi berbeda dari Aristoteles yang berpendapat bahwa jiwa adalah form dari badan.
Selama ruh (jiwa) berada di badan, ia tidak akan menemukan kebahagiaan hakiki dan pengetahuan sempurna. Setelah bepisah dari badan dan dalam keadaan suci, ruh akan langsung pergi ke “alam kebenaran” atau “alam akal” di atas bintang-bintang, berada dilingkungan cahaya Tuhan dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak kesenangan hakiki ruh. Namun jika ruh itu kotor, ia akan pergi terlebih dahulu ke bulan, lalu ke Merkuri, Mars, dan seterusnya hingga Pluto; kemudian terakhir akan menetap ke dalam “alam akal” di lingkungan cahaya Tuhan. Di sanalah jiwa akan kekal abadi di bawah cahaya Tuhan. Bagi yang berbuat durhaka dan kejahatan di dunia, jiwa (ruh) manusia akan jauh dari cahaya Tuhan sehingga dia akan sengsara. Bagi manusia yang berbuat kebajikan, jiwa (ruh) yang dikandungnya dahulu ketika di bumi, akan dekat dengan cahaya Tuhan dan akan hidup bahagia di sisi-Nya.
Dengan mengikuti Plato, Al-Kindi membagi jiwa menjadi tiga daya:
1.      jiwa yang bernafsu syahwat (al-quwwah asy-syahwāniyyah)
2.      jiwa yang bernafsu amarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah)
3.      jiwa yang berakal-budi (al-quwwah al-‘āqliyah)
Ketiga daya jiwa tersebut oleh Al-Kindi dimaksudkan seperti berikut, Nafsu syahwat digambarkan sebagai hasrat-hasrat seksual dan diperbandingkan dengan seekor babi. Nafsu amarah adalah apa yang kalau bergerak pada manusia membuatnya melakuakan dosa-dosa besa, ini dipersamakan dengan kemarahan dan diprbandingkan dengan seekor anjing. Sedangkan kemampuan akal-budi adalah akal pikiran manusia. Akal-budi merupakan suatu esensi sederhana yang dapat mengetahui realitas-realitas sebenarnya dari pada benda-benda. Ada empat jenis akal-budi: 1) Akal-budi aktif, 2) Akal-budi dalam potesialitas, 3) Akal-budi perolehan, dan 4) Akal-budi sekunder[5]. Mengenai subyek ini, kita dapat mengatakan bahwa Al-Kindi telah meletakkan suatu pola dasar bagi filosof-filosof Muslim dikemudian hari dengan memperkenalkan akal-budi keempat tesebut dan membangun dasar-dasar teori abstraksi.



[1] Atiyeh, George N, 1965, Al-Kindi (Tokoh Filosof Muslim), Bandung: Pustaka, Hal:1.
[2] Atiyeh, George N., 1965, Al-Kindi (Tokoh Filosof Muslim), Bandung: Pustaka, Hal:9.
[3] Atiyeh, George N., 1965, Al-Kindi (Tokoh Filosof Muslim), Bandung: Pustaka, Hal:19.
[4] Atiyeh, George N., 1965, Al-Kindi (Tokoh Filosof Muslim), Bandung: Pustaka, Hal:93.
[5] Atiyeh, George N., 1965, Al-Kindi (Tokoh Filosof Muslim), Bandung: Pustaka, Hal:105-109.

Senin, 29 April 2013

APAKAH HIDUP KITA INI SEPENUHNYA TAKDIR MUTLAK DARI ALLAH???

Takdir itu mutlak atau tidak?? Mutlak dari Allah atau kita sendirikah yang menentukannya??


Permasalahan            :
Saat ini teolog pecah menjadi dua golongan yakni kehendak bebas (qadar, qadariah, indeterminisme), dan kehendak mutlak (jabr, jabarriyah, determinisme). Diantara dua golongan tersebut, manakah yang benar? Oke, marilah kita sedikit berpikir :')

Pembahasan              :
Kehendak Bebas (Indeterminisme)
Melihat situasi seperti apa yang telah dipermasalahkan diatas, saya berpandangan bahwa segala yang terjadi didunia ini adalah takdir yang berasal dari ALLAH. Karena semua kejadian pasti ada sebab dan akibatnya. Semua argumentasi dan persepsi orang-orang tentang takdir tergantung pada cara sudut pandang masing-masing. Sedangkan tulisan ini mengarah pada cara pandang saya melihat kedua masalah ini. Pandangan saya membenarkan bahwa semua ini terjadi karena kehendak bebas. tetapi tetap menyadari bahwa semuanya berasal dan kembali pada kuasa dan takdir ALLAH.
Bicara mengenai takdir, itu tergantung pada kondisi seperti apa kita berdiri. Apakah dalam kehendak bebas (qodariah) atau takdir mutlak (jabarriyah), atau mungkin kita mempunyai banyak takdir. Semuanya itu kembali pada kita yang menjalani hidup ini. Kita sendiri yang berusaha untuk memilih satu diantaranya.
Pada dasarnya segala sesuatu yang terjadi di alam ini ada dalam pengawasan Allah. Karena segala yang ada di alam ini adalah berasal dari ALLAH. DIA yang menyebabkan adanya alam semesta beserta isinya. Sehingga akibatnya semua yang ada di alam ini ada. ALLAH turut serta dalam aktivitas manusia, segala yang dilakukan manusia berada dalam penglihatannya. Karena ALLAH Maha Segalanya, termasuk Maha Mengetahui kegiatan serta takdir manusia.
 Untuk jodoh dan kematian, menurut saya mungkin ini sebagai takdir yang mutlak. Seperti jodoh, kita telah ditentukan siapa tulang rusuk kita, dan itu tidak akan tertukar dengan yang lain. Sama halnya dengan kematian,  itu sendiri tidak akan maju atau mundur sedetikpun. Semua orang akan mempunyai batas waktunya masing-masing.
Sedangkan mengenai takdir kita tentang kesuksesan, karir, dan lain-lain di dunia ini adalah kehendak bebas. ALLAH telah menetapkan nasib dan takdir seseorang, tetapi manusia tetap dituntut untuk berupaya semaksimal mungkin untuk merubah keadaan dan kondisiya.  Perubahan itu bisa di upayakan atas kuasa Ilahi dan ridlo dari-Nya, meski nasib dan suratan takdir telah tertulis.
Dari pembahasan di atas, saya mengambil kesimpulan bahwa manusia sudah ditetapkan suratan takdirnya. Tetapi manusia tetap dituntut untuk berupaya seoptimal mungkin untuk mengubah nasibnya menjadi lebih baik lagi. Mencapai kehidupan yang baik di dunia maupaun di akhirat dengan seimbang tanpa melupakan sisi pasrah dan tawakal manusia terhadap Penciptanya.